Portfolio

Menganyam Rezeki dari Bungkus Pasta Gigi

Slamet Riyadhi

Pemilik Lumintu Product

Krisis moneter 1998 memunculkan banyak “pengusaha kecelakaan”. Slamet Riyadhi salah satunya. Bermodalkan sisa pesangon PHK, Slamet memulai usaha berbahan baku sampah aluminium foil.

Di pasaran terdapat beragam merek pasta gigi dengan kandungan yang hampir sama, seperti fluoride yang berguna mencegah gigi berlubang. Jika setiap orang rutin menggosok gigi dua kali sehari, per bulan akan ada satu eks tube pasta gigi yang meluncur ke tempat sampah. Nah, soal sampah ini, termasuk sampah tube bekas pasta gigi, masih menjadi masalah serius. Apalagi sampah dari eks tube pasta gigi ini tak mudah terurai.

Nah, masalah itulah yang diretas Slamet Riyadhi dengan menyulap eks tube tersebut menjadi tas cantik. Ini paling tidak bisa sedikit mengurangi tumpukan sampah anorganik di tempat pembuangan sampah. Kini, selain memanfaatkan tube bekas, setiap tiga bulan Slamet menerima 1,5 ton tube reject dari sebuah pabrikan untuk ia olah menjadi tas. Menariknya, sebagian besar karyawan Slamet adalah ibu rumah tangga yang sudah lanjut usia.

Kisah Curhat Nenek Alminah

Tak ada awan menggantung ketika pagi itu Warta Ekonomi menyambangi kediaman Slamet Riyadhi di kawasan Ciledug, Tangerang. Di rumah yang sekaligus workshop dan galeri itulah Slamet, pemilik usaha rumahan Lumintu, menyulap limbah aluminium foil menjadi produk-produk cantik. Di teras rumah, teronggok potongan aluminium foil siap pakai. Selain itu, Slamet juga memajang berbagai produk berbahan baku limbah di teras rumahnya. Ada kapal pinisi dari botol bekas, boneka ondel-ondel dari styrofoam bungkus Pop Mie, hingga kupu-kupu dari bungkus permen. Rasanya tak salah jika julukan “Dokter Sampah” disematkan pada Slamet. Ia bisa menyulap limbah anorganik menjadi sebuah kerajinan cantik hanya dengan sentuhan sederhana.

Slamet “beruntung” tinggal di Tangerang, kota dengan seribu industri. Sebab, hal itu memudahkannya untuk mendapatkan bahan baku. Sembari duduk santai di tengah area workshop, pria kelahiran 21 September 1951 ini bercerita mengenai usahanya.

Blessing in disguise. Itulah yang mengantarkan Slamet menjadi entrepreneur. Pada 1998, saat krisis moneter melanda Indonesia, Slamet terkena PHK dari tempat kerjanya, sebuah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Padahal, dia sudah bekerja selama 18 tahun. Saat itu, Slamet mendapatkan pesangon Rp17 juta yang ia gunakan untuk membeli sebidang tanah yang menjadi tempat tinggalnya sekarang. “Sisanya, saya gunakan sebagai modal usaha,” kata Slamet.

Pertemuan dengan seorang rekan yang menjadi pengepul limbah memberi inspirasi bagi Slamet. Waktu itu, pria yang tak lulus SMA ini terinspirasi menjadi pengepul limbah. “Saya membayangkan keuntungan di bisnis ini,” akunya. Namun, Slamet segera sadar bahwa ia tak punya lahan yang cukup luas untuk menjadi pengepul. Maka, dia lalu melirik pembuatan kerajinan yang memanfaatkan limbah anorganik. Awalnya, ayah empat anak ini membuat berbagai kerajinan tangan, seperti bunga, perahu, dan sebagainya, dari bungkus makanan ringan, permen, atau rokok. Produk hasil kerajinan itu dijualnya di area Senayan setiap Minggu.

Alkisah, suatu hari tetangga Slamet yang bernama nenek Alminah datang kepadanya sambil berkeluh kesah. Si nenek merasa sedih karena  kehilangan pekerjaannya menganyam tikar pandan. Memang, banyak warga lanjut usia (lansia) di sekitar rumah Slamet yang menjadi penganyam tikar pandan. Namun, sayangnya, hutan pandan di seputar wilayah itu beralih fungsi. Alhasil, “Bahan baku pandan berkurang, dan banyak lansia yang kehilangan pekerjaan,” kenang Slamet.

Curahan hati sang nenek menimbulkan inspirasi di benak Slamet:   bagaimana kalau bahan anyaman tidak lagi dari pandan, tetapi dari limbah? Pilihannya jatuh pada aluminium foil bekas tube pasta gigi. Maka, mulailah Slamet melakukan uji coba. Tidak mudah, karena aluminium foil lebih licin dibandingkan pandan. “Setelah dicoba berkali-kali, akhirnya jadilah hasil anyaman sesuai keinginan saya,” urai suami dari Mussi ini.

Keberhasilan itu mengukuhkan niat Slamet. Maka, pada 2000, dua tahun pasca-PHK, Slamet mendirikan Lumintu, yang mengolah limbah aluminium foil. Slamet bercerita, jika semula ia menggunakan tube bekas pasta gigi, kini ia memakai tube pasta gigi reject dari sebuah pabrik. Setiap tiga bulan ia mendapatkan kiriman 1,5 ton tube reject dari PT Delident Chemical Industry, produsen pasta gigi merek Delident yang berbasis di kawasan Daan Mogot, Tangerang. Kata Slamet, ini merupakan salah satu program CSR Delident. Adapun pasta gigi Delident sendiri banyak diekspor ke Afrika, Amerika Selatan, dan Eropa Timur.

Setelah masalah bahan baku selesai, Slamet masih dihadapkan pada masalah alat pemotong. Maka, ia lalu menciptakan alat potong manual yang memanfaatkan beberapa bilah cutter dan meja. Kata Slamet, modal pembuatan alat potong itu Rp100.000. “Kalau saya beli di toko, harganya bisa Rp3 juta-an,” kata dia.

Kini beralih ke proses pembuatan kerajinan. Setelah bahan baku dipotong, Slamet meminta para tetangga untuk menganyamnya. Mereka mengerjakannya di rumah masing-masing. Setiap orang rata-rata menghasilkan 8–12 lembar anyaman aluminium foil per hari. Selanjutnya, dari lembaran anyaman itu, Slamet membuat tas, sajadah, tikar, dan bahkan pohon terang. Saat ini Slamet tengah mengerjakan pesanan satu set dekorasi interior yang terdiri dari meja dan sarung bantal anyaman aluminium foil, dari sebuah hotel di Bali.

Mulanya, Slamet mengaku kesulitan memasarkan produknya. Masyarakat belum mengenal produk anyaman aluminium foil Lumintu. Pehobi kerajinan tangan ini bahkan rela berjualan di tempat-tempat strategis, seperti di Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, atau Senayan. “Saya pernah diusir petugas tramtib saat berdagang di depan Gereja Katedral,” akunya, tergelak. Namun, beruntung, seorang pastor menolongnya. “Setelah itu, justru setiap hari besar tertentu saya diundang mengisi bazar di gereja tersebut. Pengalaman yang tak terlupakan,” imbuhnya.

Kini, Slamet tak lagi menjajakan produknya di kaki lima. Konsumen-lah yang justru mendatangi workshop atau bertransaksi via internet. Apalagi ia cukup rajin mengikuti pameran kerajinan, yang membuatnya lebih mudah menggaet pesanan dari beberapa negara. Di antaranya, Brunei Darussalam, Malaysia, Abu Dhabi, Arab Saudi, Nigeria, Italia, Norwegia, Belanda, Kanada, Inggris, dan Australia. “Dari negara muslim semacam Brunei, Malaysia, atau Abu Dhabi, banyak yang memesan sajadah anyaman, sedangkan dari negara lain banyak yang memesan lembaran anyaman yang belum dibentuk rupa-rupa,” terang Slamet.

Produk-produk Lumintu memiliki kisaran harga yang beragam. Slamet membaginya dalam tiga kategori berdasarkan model dan kualitas bahan, yakni produk dengan kisaran harga Rp40.000–100.000 (sederhana), Rp120.000–150.000 (menengah), dan Rp250.000–300.000 (eksklusif). “Untuk produk tas eksklusif, saya menggabungkan anyaman aluminium foil dengan bahan kulit. Jadi, terlihat lebih mewah dan elegan,” kata Slamet. Saat ini, Slamet membukukan omzet puluhan juta rupiah per bulan.

Sarat Misi Sosial

Meski kiprah Lumintu sudah mendunia, ternyata Slamet belum mendirikan badan hukum untuk melegalkan bisnisnya. Rumitnya birokrasi dan lamanya proses pengurusan membuat Slamet enggan, termasuk untuk  mendaftarkan merek produknya. Slamet mengaku tak khawatir produknya ditiru orang lain. “Tidak masalah. Justru saya senang jika banyak orang yang mengikuti jejak saya. Artinya, akan makin banyak orang yang memanfaatkan limbah anorganik menjadi barang bernilai ekonomi,” ujarnya, santai.

Bisnis yang digeluti peraih Danamon Awards 2007 untuk kategori usaha kecil ini sangatlah menarik. Selain produknya berbahan dasar limbah aluminium foil, Slamet mempekerjakan para lansia. Saat ini Slamet memiliki 64 karyawan, terdiri dari 32 orang lansia dan sisanya remaja serta ibu rumah tangga. Sejak awal berdiri, selain berbisnis, memang Lumintu Product  juga mengusung misi sosial. “Misinya memberdayakan lansia,” tegas Slamet. Pemilihan nama “Lumintu” pun bukan tanpa alasan. Menurut Slamet, Lumintu adalah singkatan dari Lumayan itung-itung nunggu tutupnya umur, sesuai dengan usia sebagian besar pekerjanya.

Slamet berharap bisa mempekerjakan 136 lansia di lingkungannya. Selain itu, ia pun giat memberikan pelatihan maupun workshop kewirausahaan, khususnya yang berbahan baku sampah, baik yang diadakan oleh LSM maupun instansi pemerintahan. Pria yang besar di Cirebon ini sangat peduli dengan produk daur ulang (recycle). “Saya ingin mewariskan usaha ini kepada anak-anak saya, agar saya bisa konsentrasi memberikan pelatihan bagaimana mengolah produk-produk daur ulang,” pungkasnya.

FYI:

Kisah Tas dari Bungkus Indomie

Produk daur ulang (recycle) tengah naik daun. Namun, Slamet tak ingin latah meniru produk-produk yang ada di pasaran. Pria yang tahun ini genap berusia 58 tahun itu menciptakan ciri khas produknya, yaitu memadukan anyaman dengan memanfaatkan bekas bungkus mi instan Indomie. Hasilnya? Wow, sebuah tas tangan cantik!

Berbeda dengan model tas yang telah banyak beredar, tutur Slamet, kreasi tersebut adalah bagian dari program Corporate Social Responsibility (CSR) PT Indofood Sukses Makmur Tbk. Ceritanya, Slamet ditantang oleh produsen makanan instan itu untuk mengolah limbah bungkus produknya. Maka, ia pun bereksperimen membuat tas tangan itu tanpa meninggalkan ciri khasnya, yaitu anyaman. Saat Warta Ekonomi berkunjung, tas itu belum jadi, masih perlu sentuhan akhir.

Ihwal kerja samanya dengan Indofood, Slamet membaginya dalam dua program. Pertama, memproduksi berbagai aksesori atau tas untuk tujuan komersial, dan Indofood membantu pemasarannya. Kedua, memberikan pelatihan bagi murid SD. Orang kreatif memang tak pernah habis akalnya. Sampah pun naik kelas menjadi barang bernilai ekonomi.

Lumintu Product

Jl. K.H. Hasyim Ashari Gg. Kemuning No. 17

RT 01/RW 05, Sudimara Pinang

Tangerang 15145

Telepon     : (021) 94706621, 91743546

Testimonial:

Zsa Zsa Yusharyahya

Executive vice president Public Affairs Division Bank Danamon

Very inspiring person! Ada dua hal yang menarik dari usaha Slamet, yaitu pemberdayaan lingkungan, khususnya lansia di sekitarnya, dan terjaganya kelangsungan usaha (sustainability) hingga saat ini. Selain itu, Slamet juga memiliki local knowledge dalam mengenali potensi daerahnya untuk menunjang usahanya.

4 tanggapan untuk “Menganyam Rezeki dari Bungkus Pasta Gigi

  1. iya… semoga saja kian banyak masyarakat yang sadar dan menerapkan prinsip cinta lingkungan dalam setiap aktivitasnya, sehingga bumi kita masih bisa bertahan lebih lama lagi… trimakasih atas kunjungannya…:D

    Suka

Tinggalkan Balasan ke dwi Batalkan balasan